PENULIS : BRAHMANTO ANINDITO & RIE YANTI
PENERBIT : GAGAS MEDIA
JUMLAH HALAMAN : 314 halaman
TAHUN TERBIT : 2010
Quote:
– Ingin bisa nulis dengan baik harus banyak baca karya orang dulu. Sebagaimana ingin jadi pembicara yang baik harus banyak dengerin orang dulu.
– Nulis karya, apa pun itu, dengan dasar cinta. Selalu berangkatlah dari cinta. Sebarkanlah cinta, seraplah cinta. Percayalah alam semesta ini takkan pernah kehabisan daya cinta, karena Tuhan menciptakan kita dengan bahan baku cinta.
SINOPSIS
Sastra Sunda? tanya teman – teman Nindhita Irani Nadyasari, atau yang akrab dipanggil Nadya. Teman teman Nadya hanya menggeleng geleng ragu mendengar tema yang diambil Nadya untuk makalah Seleksi Tahap Kedua Pemilihan Siswa Teladan Se-Bandung Raya. Mereka tidak habis pikir mengapa Nadya mengambil tema yang tidak populer seperti itu. Tapi Nadya sudah memantapkan hati tidak akan merubah tema makalahnya. Menurutnya sudah saatnya orang orang peduli pada hal hal yang seolah olah tidak penting, seperti kebudayaan daerah. Dan yang terpenting adalah, dia ingin jadi signifikan. Menjadi siswa yang hanya langganan ranking 1 dirasanya belum cukup.
Sebetulnya Nadya memiliki rahasia sehingga dia bisa selalu ranking 1. Dia memiliki suatu keistimewaan menyerap ilmu dari orang yang diinginkannya. Dia hanya perlu mengobrol dengan orang tersebut untuk menyerap ilmunya. Dia menyebut keajaiban ini sebagai Energi Putih. Karena dia selalu melihat penampakan energi berwujud awan putih di dalam mimpinya. Dan, voila, saat bangun tidur dia sudah sepintar si empunya ilmu.
Dan kali ini, Nadya ingin menggunakan “energi putih” untuk memudahkannya mengerjakan makalah. Untuk itu, dia harus mewawancarai beberapa Sastrawan Sunda dan menyerap ilmu mereka. Berbekal info dari internet, dia mendatangi Pusat Studi Sunda untuk mencari referensi makalahnya. Oleh petugas di sana, dia diberi alamat seorang Sastrawan Sunda bernama Yahya Soemantri. Tidak lama setelah pertemuan mereka, Nadya memposting sebuah puisi di sebuah grup di Facebook yang bernama Sastra Sunda Plus. Tulisannya mendapat banyak pujian dari member grup tersebut, yang ternyata sebagian besar adalah pemerhati dan Sastrawan Sunda. Tapi ada satu kritik yang dianggap Nadya agak mengganggu. Puisi karyanya dianggap meniru karya Yahya Soemantri.
Apakah Nadya meniru? Tidak, Nadya tidak meniru karya Yahya, tapi dia menjadi Yahya itu sendiri, berkat “energi putih”. Sukses membuat puisi yang cukup menggemparkan, membuat Nadya semakin haus untuk eksis di jagat Sastra Sunda. Target Nadya bukan lagi memenangi Seleksi Tahap Kedua Pemilihan Siswa Teladan Se-Bandung Raya, tapi membuat sebuah karya yang fenomenal, dengan menghalalkan segala cara.
***
Ketika pertama membaca judul buku ini, saya berpikir Satin Merah adalah selembar kain satin berwarna merah. Tapi tenyata Satin Merah yang dimaksud bukanlah jenis kain. Satin Merah adalah sastra sastra, entah cerpen atau puisi yang muncul setelah peristiwa pembunuhan sastrawan. Kemunculannya selalu mengikuti peristiwa pembunuhan, seakan akan sastra tersebut bukan ditulis dengan tinta, melainkan dengan darah yang merah.
Saya kagum pada kedua penulis novel ini. Mereka tidak pernah bertemu secara langsung saat proses pembuatan novel tersebut. Semuanya dikerjakan secara online. Dan hebatnya lagi, Brahmanto Anindito adalah Arek Suroboyo yang notabene kesehariannya jauh dari Budaya Sunda. Misi mereka adalah mengingatkan pembaca, bahwa Sastra Sunda itu masih eksis dan layak diapresiasi.
Kata kata ayah Nadya berikut ini adalah contoh, bahwa berkarya melalui seni khususnya sastra, dianggap tidak dapat menjadi sumber penghidupan
“Kamu ini ya, Sastra Sunda aja dipikirin! Ngapain sih, mau maunya! Biar orang desa yang lebih berbakat kesenian yang ngurusin perkara remeh gitu. Di keluarga kita, nggak ada darah darah sastrawan, tahu nggak! Kamu mau jadi apa, naaak, ngurusin sastra itu mau jadi apaaa? Orang kere di Indonesia ini udah banyak!”
Hmmm, kata kata ayah Nadya cukup menyakitkan, tapi memang itulah realita yang terjadi, setidaknya berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri.
Satin Merah menggunakan perpaduan alur mundur dan maju. Di awal cerita menggunakan alur mundur, dan setelah itu maju, dan seterusnya bervariasi seperti itu. Banyak kejutan kejutan dalam novel ini. Dan itu ditemukan pada saat alur mundur. Saya suka tokoh Nadya yang penuh kejutan. Dia digambarkan mirip dengan Julie Estelle, dan ingatan saya langsung melayang pada sosok Julie saat memerankan Kuntilanak. Pribadi Nadya yang labil, emosional, misterius, sekaligus jenius, menambah greget saat membaca novel ini.
Saya tak henti hentinya merinding saat membaca novel ini. Tapi, saya menemukan sedikit kekurangan pada alur cerita. Ada satu kejadian yang tidak dijelaskan secara terperinci, sehingga membuat saya menebak nebak sendiri apa yang sebenarnya terjadi.
Akhir dari novel ini sungguh di luar dugaan dan menurut saya, bab terakhir adalah yang terbaik dari semua bab. Saya dibuat menangis membaca bab terakhir novel ini. Satu kata untuk novel ini, JENIUS.
Dan akhir kata, novel ini sangat saya rekomendasikan untuk penyuka novel misteri.